Halo!
halo teman-teman pada kesempatan kali ini kita telusuri yuk asal mulanya bahasa
kita. Yup, benar sekali bahasa kita adalah bahasa Indonesia. Pernah gak sih
kita membayangkan seandainya tidak ada bahasa Indonesia. Wah! Pasti sulit
sekali ya bagi aku, kamu atau kita dan mereka umtuk saling berkomunikasi atau
pun sekadar bercerita. Negara kita Indonesia selain memiliki wilayah yang luas,
bahasa masyarakatnya pun beraneka ragam.
Orang
yang berada di bagian paling barat Indonesia tidak akan sama bahasanya dengan
orang yang tinggal di wilayah paling timur Indonesia. Lebih uniknya lagi Daerah
Indonesia dari bagian Barat menuju ke Timur itu bahasa daerahnya akan semakin
banyak. Untuk wilayah Indonesia Timur saja berbeda distrik atau setara
kelurahan maka berbeda pula bahasa yang digunakan.
Kalau
begitu, beruntung sekali ya kita sebagai generasi penerus berkat para pelopor
yang sudah mencetuskan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pemersatu sekaligus bahasa nasional Negara Indonesia. Dengan
demikian, sudah tidak ada lagi jarak atau hambatan bagi kita untuk saling
bercerita dan berinteraksi tanpa harus mempelajari bahasa semua daerah. Cukup
satu bahasa untuk satu bangsa, yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa
Indonesia merupakan bahasa nasional atau bahasa resmi Republik Indonesia. Sebaran
pulau-pulau di wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke dari Miangas hingga
Pulau Rote yang dihuni oleh beragam kelompok suku dengan bahasa daerahnya
masing-masing. Melalui peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, Bahasa
Indonesia kemudian dijadikan sebagai bahasa persatuan. Lalu, bagaimana sejarah
Bahasa Indonesia dan kenapa bahasa
Indonesia dipilih sebagai bahasa pemersatu?
Dikutip
dari laman Kemdikbud, Bahasa Indonesia lahir jauh sebelum Indonesia merdeka,
yakni pada 28 Oktober 1928.
Bahasa
Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari
berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1)
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para
pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur
yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah
bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa
Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus
1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan
berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai
bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara,
melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa
Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang
menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka
tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota
Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688
M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna.
Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa
Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor
ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu
Kuna.
Pada
zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa
buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai
bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap
para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi
dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya,
antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen
(I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand,
1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel,
1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta.
Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di
Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan
dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak semakin jelas dari peninggalan kerajaan
Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye
Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan
ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah
Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa
Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam
di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa,
dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa
Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan
bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah
Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu
menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa
Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam
perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan
bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa
persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang
bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang
tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa
Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan
nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan
kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam
memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17
Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara
konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh
berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Nah,
itulah sejarah singkat perjalanan bahasa Indonesia yang kini dikukuhkan sebagai
bahasa nasional yang menyatukan seluruh bangsa Indonesia. Yuk, bersama-sama
kita mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah
sebagai bagian dari kekayaan budaya nusantara, serta tidak lupa untuk belajar
menguasai bahasa asing.